Selasa, 28 April 2009

Syaikh Mawlana Pulau Sembilan: Maqam Mursyid Thareqah

http://ismunazhom15.ucoz.com

Syaikh Mawlana Pulau Sembilan: Maqam Mursyid Thareqah

www.halaqah15.blogspot.com
http://halaqah12.do.am

Maqam Mursyid Thareqah

Allah Swt. berfirman:

“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak � minimal �ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan � ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.

***
Allah Swt. berfirman:

“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak � minimal �ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan � ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.

Tarekat Syathariyah dan Naqsyabandiyah di Minangkabau

Secara historis, Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-12 M, ada yang menyebutnya abad ke-14 M. Almanak Tiongkok menyebutkan bahwa sudah didapatinya satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera bahagian barat pada tahun 674 M, maka dengan demikian Islam telah masuk ke daerah ini sejak tahun 674 Masehi atau abad pertama hijriah.

Naiknya kerajaan Islam Pasai di Aceh dibawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda tahun 1607-1638 M. membawa akibat dikuasainya kerajaan kecil Minangkabau. Perkembangan Islam di Aceh, khususnya paham tasawuf melalui 'Abd al-Rauf al-Sinkili ikut mewarnai pemikiran keagamaan di Minangkabau sejak masa awal. Pengaruh al-Sinkili dalam pengembangan Islam ke Minangkabau diteruskan oleh Burhan al-Din. Syekh Burhan al-Din Ulakan memainkan peran sebagai pengembang Islam melalui tarekat Syathariyah di Minangkabau. Sehingga surau Ulakan cukup termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan Islam di Minangkabau.

Pengertian Tarekat
Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.

Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.

Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga system, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru. Kepatuhan murid kepada guru dalam tarekat digambarkan murid dihadapan guru laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.

Adat Minangkabau
Adat sebagai identitas masyarakat Minangkabau telah menjadi rujukan bagi setiap tingkah laku masyarakatnya. Setiap aktivitas, prakarsa (inisiatif) dan kreatifitas selalu dinilai berdasarkan adat tersebut. Namun demikian, adat Minangkabau te1ah mengalami fase-fase perkembangan sendiri berkenaan dengan perjumpaannya dengan nilai-nilai luar. Pertama adalah fase animisme dan dinamisme. Fase ini berlangsung sebelum abad V M. Kedua adalah fase pengaruh Hindu-Budha, mulai abad VI Masehi sampai abad VII Masehi. Ketiga adalah fase Islam. Adapun raja Minangkabau pertama yang beragama Islam adalah Sultan Alif yang berkuasa pada pertengahan abad ke-16 (1560 M). Pada masa ini, terutama di seputar pesisir, dominasi politik dan ekonomi dikuasai oleh kerajaan Aceh.

Ketika Islam menjadi anutan orang Minangkabau maka tidak sedikit adat Minangkabau yang dipengaruhi oleh animisme dan dinamisme serta Hindu dan Budha, mendapatkan kritikan dan gugatan dari ajaran Islam. Setelah itu, melalui pergulatan yang terakhir justru Islamlah yang sampai sekarang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, termasuk memberi corak tehadap adat Minangkabau. Perpaduan antara adat dan Islam itu dibuktikan melalui sistim dan struktur adat Minangkabau yang dibuhul dengan pepatah "Adat basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah.”

Tarekat Syathariyah
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.

Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa' aI-Qulub.

Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi - tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.

Adapaun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh 'Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga;

Bahagian Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- 'a/am), Dia selalu memikirkan (berta'akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (a/ 'ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya.
Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari'at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.
Bahagian kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga "Ia adalah Dia." Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi--dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW-- dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka.
Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
Bahagian ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari'at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af'al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma'nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.

Tarekat Naqsyabandiyah
Menurut BJO Schrieke dan Martin Van Bruinessen, Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Christine Dobbin menyebutkan tarekat Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Lima Puluh kota. Azyumardi Azra menulis bahwa tarekat Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India.

Kepopuleran Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau diperkuat oleh ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah lalu mereka kemudian mendapat bai'ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), Syekh Muhammad Sai'd Bonjol.

Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.

Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin dzikir atau bai'at dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai'at dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah dan tawassul yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru dengan cara membayangkan wajah guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan memulai dzikir.

Dzikit ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin dari guru. Kelima tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al-lata’if, (c) dzikir naïf wa isbat, (d) dzikir wuquf dan ( e) dzikir muraqabah.

Mencari Syaikh Azhabuzzaman

NABI KHIDIR AS DAN WALI ALLAH


“ Keyakinan kita (ahlu al–sunnah wa al-jama’ah) adalah tidak memuliakan seorang wali di atas nabi, bahkan sebaliknya kita berkeyakinan bahwa satu orang Nabi lebih mulia dari seluruh wali “ ( Imam Thohawi )

Adalah seorang Kyai yang mendapat amanat sebuah jabatan yang bergengsi, akan tetapi yang sangat disayangkan adalah pernyataan-pernyataannya yang sering kali terdengar aneh, manuver-manuver politik nya sering membingungkan orang, alias nggak jelas dan sulit di tebak, “ manuver politik seorang wali “ kata seorang pengikutnya.

Bahkan ketika secara jelas, dia melakukan sebuah kesalahan fatal, masih ada saja yang menyeletuk: “ dia kan seorang wali , masak berbuat salah “ . Cara berpikir seperti ini perlu diluruskan.

Sebagian lain mengaku, bahwa dia mempunyai seorang guru, yang dalam satu waktu bisa berada di dua tempat. Percayakah anda bahwa dia seorang wali Allah ? Bahkan diantara mereka tidak bergeming sedikitpun ketika di bacok dengan pedang, apakah itu pertanda bahwa dia mempunyai karomah ? Bahkan konon beberapa diantara wali songo bisa merubah buah yang masih dipohon menjadi emas, malah diantara mereka ada yang bisa berjalan di dalam tanah. Bagaimana seorang muslim harus bersikap, ketika melihat fenomena di atas ?

Pengertian wali dan beberapa syaratnya? Wali di dalam ajaran Islam mempunyai banyak arti :
1/Wali berarti teman setia dan orang yang dipercaya Allah berfirman
Wahai orang – orang yang beriman janganlah engkau menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman- teman setia, yang kamu sampaikan kepada mereka ( berita –berita Muhammad), karena rasa kasih sayang , padahal mereka telah ingkar terhadap kebenaran yang datang kepadamu “ ( QS Al Mumtahanah : 1 )

2/Wali juga berarti pemimpin. Allah berfirman :
“ Wahai orang – orang yang beriman , janganlah engkau menjadikan orang orang Yahudi dan Nashrani sebagi pemimpin- pemimpin kamu, sebagian mereka adalah pemimpin sebagian yang lain “ ( QS Al Maidah : 51 )

3/Wali juga berarti pelindung. Allah berfirman :
“ Allah adalah pelindung orang –orang beriman , Yang mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada yang terang “ ( QS Al Baqarah : 257 )

Dari keterangan di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Wali Allah adalah : “ Orang – orang yang dekat kepada Allah , karena mereka menyerahkan diri kepada-Nya, mengerjakan perintah- perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya( menjadikan Allah sebagai pemimpin mereka ) , serta mereka akan mendapatkan perlindungan dari Allah “ .

Sebagian ulama ada yang membagi Wali Allah menjadi dua kelompok :

a. Kelompok pertama yaitu orang- orang yang mendapatkan “ Wilayat al-‘Ammah ” ( perlindungan secara umum ) dari Allah . Mereka itu adalah orang-orang Islam dan beriman , yang secara umum telah mendekatkan diri dengan Allah, dan akan mendapatkan perlindungan dari Allah, walau mereka kadang menjauh dari Allah, atau berbuat maksiat terhadapNya.

b.Adapun kelompok yang kedua adalah mereka yang akan mendapatkan “ Wilayat al-Khosoh “ ( perlindungan secara khusus ) dari Allah swt. Menurut sebagian ulama , mereka adalah orang - orang yang mengetahui Allah dengan segala sifat-sifatNya, yang selalu mentaati segala perintah–Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, selalu menjaga dirinya supaya tidak terjerumus ke dalam kesenangan yang melalaikan, dan segera bertaubat ketika berbuat kesalahan “

Namun, orang yang mendapatkan “Wilayat al-Khosoh “ diatas, sebenarnya tidaklah terbatas apa yang di terangkan di atas , artinya : bahwa orang yang mengetahui Alloh dan sifat-sifat-Nya saja, belumlah cukup untuk mendapatkan “Wilayat al-Khosoh “ dari Allah. Karena ada satu unsur penting yang belum disebutkan pada pengertian di atas , padahal unsur tersebut sering disinggung oleh para ulama.

Untuk mengetahui satu unsur penting tersebut, kita mencoba menyelusurinya, disela- sela pernyataan Hasan Basri, seorang ulama yang amat piawi pada zaman tabi’in. Beliau pernah mengatakan : “ Ilmu itu ada dua ; ilmu yang di lidah, adalah sesuatu yang akan dimintai pertanggung jawabannya di depan Allah, sedang yang kedua adalah ilmu yang di hati, inilah ilmu yang bermanfaat “ .

Beberapa ulama salaf pun pernah mengatakan : “ Ulama itu ada tiga macam ; Pertama : adalah mereka yang mengetahui tentang Allah dan tentang perintah Allah, Kedua: adalah meeka yang mengetahui tentang Allah tapi bodoh terhadap perintah-perintahNYa , Ketiga : adalah mereka yang mengetahui perintah Allah tapi bodoh tentang Allah sendiri. Yang terbaik adalah yang pertama “ .

Berpijak dari keterangan diatas, kita katakan bahwa : seorang wali yang akan mendapatkan wilayah khossoh , haruslah mempunyai ilmu yang memadai tentang Dienul Islam, atau meminjam ungkapan Hasan Basri adalah menguasai ilmu tentang hukum-hukum Allah. Tanpa bekal ini, tak mungkin seseorang bisa sampai pada derajat wali. Kenapa ? Karena seseorang tidak akan menjadi hamba yang dicintai Allah, kalau dia bodoh terhadap perintah-perintah-Nya. Semangat di dalam beribadah saja tidak cukup untuk meraih gelar ini. Kita lihat, umpamanya orang-orang Nasrani ( Kristen ) , mereka sangat antusias di dalam beribadah, tetapi Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang sesat ( Dhollin ) , seperti yang tercantum di dalam surat Al Fatihah. Semangat, tapi bodoh hanya akan menghasilkan orang- orang yang sesat saja. Sebaliknya, pintar tanpa semangat, hanya akan menghasilkan orang-orang yang dimurkai Allah ( Al Maghdhubi ‘alaihim ) termasuk di dalamnya orang-orang Yahudi. Islam adalah agama penengah ( wasath ), agama yang telah menjadi saksi bagi umat-umat yang lainnya, agama yang memperhatikan seluruh demensi kehidupan, agama yang ajarannya mampu membuat kehidupan ini seimbang.
Wal hasil, ilmu adalah hal yang sangat diperlukan bagi seorang yang ingin menjadi seorang wali. Perhatikan sabda Rosulullah saw. :

“ Barang siapa yang Allah menginginkan pada dirinya kebaikan, niscaya Allah akan memahamkan dia tentang ajaran agama. “ ( HR Bukhori Muslim )

Berkata Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits diatas : “ Mafhum hadits diatas menunjukkan, bahwa barang siapa yang tidak mempelajari ajaran Islam atau paling tidak tentang dasar-dasar agama dan masalah furu’ yang terkait, berarti dia tidak akan mendapatkan kebaikan ( Fathul Bari 1/165 ) .

Hal ini dikuatkan juga dengan firman Allah :
” Sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada ketakutan dalam diri mereka dan merekapun tidak bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah serta bertaqwa kepadaNya “ ( QS. Yunus : 62-63 )

Orang- orang yang bertaqwa adalah orang yang mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Dan seseorang tidak akan bisa berbuat seperti itu, kalau tidak mengetahui perintah-perintahNya serta bodoh terhadap larangan-laranganNya.

Dari uraian di atas, akhirnya kita bisa menyimpulkan, bahwa Wali Allah yang sebenarnya adalah seorang muslim yang alim terhadap ajaran agamanya dan konsekwen, serta konsisten dengan ilmu yang dimilikinya, siapapun dia, dan apapun kedudukannya.
Khidhir as, seorang wali atau nabi ?

Di sana ada beberapa kasus yang perlu ditanggapi, diantaranya adalah kisah Khidir dengan nabi Musa. Di dalam surat Al Kahfi disebutkan bahwa nabi Musa as pernah belajar kepada Khidhir. Sebagian kaum muslimin yang berkeyakinan bahwa Khidhir adalah seorang wali, mereka menyimpulkan bahwa seorang wali lebih afdhol dari seorang nabi, dengan bukti nabi Musa belajar kepada Khidir. Keyakinan ini, akhirnya berkembang lebih luas lagi dan menyebabkan bermunculnya orang- orang yang mengaku dirinya wali Allah, bahkan sebagian mereka sudah tidak mengakui ajaran Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad saw, karena beranggapan bahwa wali lebih utama dari nabi, dan tidak perlu mentaati ajaran- ajarannya.

Sungguh keyakinan semacam itu sangat menyesatkan, karena akan mengakibatkan rusaknya ajaran Islam ini. Padahal menurut pemahaman Ahlu al-Sunnah wa al- Jama’ah bahwa nabi dan rosul merupakan manusia yang paling utama dan mulia di sisi Allah swt. Untuk lebih jelasnya, kami sebutkan di bawah ini, urutan umat manusia yang paling utama sejak awal diciptakannya, hingga hari kiamat kelak-berdasarkan pendapat para Ulama Ahlu Sunnah- :

1-Urutan Pertama adalah para rosul dan nabi adalah kelompok manusia yang paling mulia di sisi Allah, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa mereka lebih mulia dari para Malaikat. Diantara para rosul dan nabi tersebut, terdapat Ulul Azmi ( Nabi Muhammad saw, Isa as, Musa as, Ibrahim as, Nuh as) mereka itu, adalah orang – orang yang terbaik di antara para nabi dan rosul. Dan Nabi Muhammad saw adalah yang terbaik diantara ulul azmi sekaligus sebagai pemimpin para nabi dan rosul.

2.Setelah itu, baru para wali Allah. Dan kelompok Wali Allah yang paling baik dalam sejarah manusia adalah para sahabat Rosulullah saw . Diantara para sahabat tersebut, Abu Bakar As-Siddiq adalah yang terbaik. Kemudian Khulafa Rosyidin sesudahnya yaitu : Umar bin Khottob ra, Utsman bin Affan ra, serta Ali bin Abi Tholib ra)
Barangkali diantara kita ada yang bertanya, kalau begitu di mana Khiddhir as di dalam urutan- urutan tersebut ? Bagaimana dengan wali-wali Allah yang lainnya, khususnya yang sangat dikenal oleh masyarakat awam ? Dan bagaimana dengan wali songo yang ada di Indonesia ?

Untuk menjawab sejumlah pertanyaan diatas, kita harus mengetahui terlebih dahulu, apakah Khidhir as itu nabi atau wali ? Sampai sekarang masalah ini, masih menjadi polemik yang hangat dikalangan sebagian orang. Dan hal ini, sangatlah wajar karena tidak ada teks Al-Qur’an maupun Hadist yang menyebutkan secara terus terang tentang status Khidhir as. Oleh karenanya kita dapatkan sebagian orang beranggapan bahwa Khidhir as, adalah seorang wali besar, bahkan mungkin Imamnya para wali. Dan Allah telah menganugrahkan kepada-nya wahyu dan ilmu, serta hikmah. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa Khidir as adalah salah satu dari Nabi Allah. Tapi yang jelas, keduanya sepakat bahwa Khidir as adalah hamba Allah yang pernah bertemu dan menjadi guru nabi Musa as, yang kisahnya disebutkan dalam Al Qur’an, tepat di dalam surat Al Kahfi.

Paling tidak, ada dua hal yang menunjukkan bahwa Khidhir adalah seorang nabi.
Pertama : Ibnu Katsir di dalam bukunya “ Al Bidayah wa al -Nihayah “ telah memberikan alasan yang cukup menarik untuk menolak pendapat yang mengatakan bahwa Khidhir as membunuh anak kecil yang ditemuanya di jalan, karena perasaannya mengatakan bahwa anak kecil tersebut, kelak akan menjadi anak yang durhaka kepada orang tuanya.

Ibnu Katsir menyatakan bahwa seorang wali, bagaimanapun juga derajatnya, tidak begitu saja berbuat sesuatu yang sangat besar hanya berdasar perasaan belaka. Karena sebuah “perasaan” tidak boleh dijadikan standar untuk semudah itu menghabisi nyawa anak kecil yang belum punya dosa.

Abu Bakar as Siddiq ra saja- yang nota benenya adalah pemimpin para wali - masih bimbang , ragu-ragu, dan berpikir tujuh kali, sebelum akhirnya mantap untuk menjalankan proyek “ jam’ul quran “ ( mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf ) . Abu Bakar as Siddiq ra bimbang untuk melangkah, karena kawatir apa yang akan dilakukannya nanti akan menyalahi ajaran Rosulullah saw. Padahal proyek “ jam’ul quran “ merupakan proyek yang sangat masuk akal, dan mempunyai dasar pijakan yang kuat.

Walau begitu, Abu Bakar as Siddiq masih ragu dan penuh kekhawatiran. Lain dengan Khidhir as, yang dengan begitu mudah membunuh anak kecil yang ditemuinya tanpa sebab apa-apa. Ini semua menunjukkan bahwa Khidhir as adalah seorang nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah swt, sehingga dengan wahyu tersebut,tanpa pikir panjang beliau segera menjalankan apa yang diperintahkan kepadanya, walau perbuatan tersebut, secara sekilas terlihat sebagai sebuah kemungkaran.

Kedua : Nabi Musa as belajar dari nabi Khidhir as. Ini juga , merupakan indikasi bahwa Khidhir as adalah seorang nabi. Karena sangat kecil kemungkinannya seorang Nabi sekaliber Musa as, diperintahkan belajar dari seseorang yang bukan Nabi.
Bagi orang yang hanya membaca kisah Khidhir as dengan nabi Musa as secara sekilas, akan terkesan baginya, bahwa Khidhir as lebih pandai dari nabi Musa as.

Dan itu, akan memberikan dampak yang kurang bagus pada keyakinan masyarakat, karena akan mengesankan bahwa Khidhir as ( yang menurut mereka adalah seorang wali ) ternyata lebih mulia dari seorang Nabi Musa as, salah seorang nabi yang mendapatkan julukan Ulil Azmi ( Nabi- nabi yang memiliki ketangguhan yang luar biasa )
Seseorang yang menyakini bahwa seorang wali lebih mulia dari nabi, bahkan lebih mulia dari para nabi yang tergolong dalam kelompok Ulul Azmi, maka orang tersebut telah terjerumus di dalam kebodohan yang nyata.

Keyakinan tersebut merupakan keyakinan yang sesat, dan merusak aqidah kaum muslimin, karena beranggapan bahwa seorang wali berhak untuk berbuat sesuka hatinya, walau perbuatan itu bertentangan dengan syara’ dan akal sehat serta fitrah manusia. Dia, bisa saja merusak barang milik orang lain dengan dalih menyelamatkannya, atau bahkan akan dengan mudah membunuh siapa saja yang dia kehendaki, dengan alasan dia adalah seorang wali, dan dia meniru apa yang dilakukan oleh Khidhir as.

Pendapat bahwa Khidir as, adalah seorang nabi, dikuatkan dengan perkataan seorang tokoh Islam, yang karya-karyanya menjadi rujukan kaum muslimin yang bermadzhab ahlu al–sunnah wa al-jama’ah, yaitu Imam Thohawi, beliau menulis di dalam matan “ Aqidah Al- Thohawiyah “ :
“ Keyakinan kita (ahlu al–sunnah wa al-jama’ah) adalah tidak memuliakan seorang wali di atas nabi, bahkan sebaliknya kita berkeyakinan bahwa satu orang Nabi lebih mulia dari seluruh wali “

Begitu juga wali- wali lain yang telah dikenal luas oleh masyarakat, baik di Timur Tengah, maupun di belahan bumi yang lain, termasuk di Indonesia sendiri, mereka itu, bagaimanapun tingginya keimanan dan kehebatan mereka, namun kedudukan mereka, tetap di bawah para sahabat Rosulullah saw, karena para sahabat adalah generasi terbaik sepanjang sejarah manusia , tentunya setelah para nabi dan rosul.

Merekalah ( para sahabat ) wali-wali Allah yang bukan saja bisa menyebarkan Islam , tapi mereka juga telah mampu menaklukan dunia ini dan membekuk dua kekuatan super power pada waktu itu, Persi dan Romawi.

Sedangkan wali- wali Allah yang lain, khususnya yang hidup pada zaman ini, keimanan mereka jauh di bawah keimanan para sahabat. Apalagi yang mengaku-ngaku bahwa diri mereka wali, tentunya sangat jauh perbedaannya. Inipun, kalau mereka benar- benar wali Allah. Karena wali Allah yang sebenarnya, adalah mereka yang memberikan kontribusi pada masyarakat dengan semaksimal mungkin. Yaitu selalu berdakwah, beramar ma’ruf dan nahi mungkar, memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi di masyarakat , bahkan akan mampu mnggerakkan reformasi yang sebenar- benarnya. Dan tentunya Umat Islam, dan bangsa Indonesia khususnya, akan bisa merasakan kehadiran mereka.

Namun kenyataannya, justru yang terjadi adalah kerusakan demi kerusakan, kekacuan demi kekacuan, bahkan suara mereka, yang mengaku wali- wali Allah, tidak pernah terdengar.Wallahu a’lam.

Sanad Suluk Naqshabandiyyah Qadiriyyah


SILSILAH THARIQAH NAQSHABANDIYYAH



Bismillahir rahmanir rahim

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang


Allahumma Shalli ala saidina Muhammad wa’ala alihi washabihi ajma’in, maka inilah mula-mula Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, maka mewahyukan Allah Ta’ala kepada Jibril As. rahasia yang amat halus, disuruh berikan kepada Hambanya yang suci dan putus pengenalannya dan kuat yakin, kemudian maka turun Jibril ke Dunia, diberikan rahasia itu kepada Nabi kita, Nabi Muhammad SAW, dan daripadanya turun kepada sahabatnya:


1. SAIDINA ABU BAKAR SIDDIQ Ra, dan daripadanya turun kepada:


2. SAIDINA SULAIMAN Ra, Saidina Sulaiman itu setengah dari keluarga Rasulullah SAW, dan daripadanya turun kepada:


3. SAIDINA SALMAN AL FARISY Ra, dan daripadanya turun kepada Imam:


4. SAIDINA QASIM Ra, anak Saidina Abu Bakar Siddiq Ra, dan daripadanya turun kepada:


5. IMAM JAKFAR MUHAMMAD SYARIF Ra, dan adalah Imam Jakfar itu anak cucu Saidina Ali KW, dan daripadanya turun kepada Sultan Arifin Syekh Taifur anak Aisyah, namanya yang masyhur:


6. SAIDI SYEKH ABI YASID AL BUSTAMI Qs, dan daripadanya turun keramat beberapa Aulia Allah, yaitu:


7. SYEKH ABIL HASAN KHARQANI Qs, dan daripadanya turun kepada sekalian kutub, yaitu:


8. SYEKH ABI ALI SOMAD BIN SYEKH YUSUF HAMDANI Qs, dan daripadanya turun kepada wali:


9. SYEKH ABDUL KHALIQ FAJDUANI Qs, dan daripadanya turun kepada kutub sekalian Aulia Allah, yaitu:


10. SYEKH ARIF RIUKARI Qs, dan daripadanya turun kepada Hambanya Kepada sekalian Guru-guru, yaitu:


11. SYEKH MUHAMMAD WALJIRI FAKNAWI Qs, dan daripadanya turun kepada Wali Arfani yang sangat kasih akan Tuhannya yang Ghani, yaitu:


12. SYEKH LALAL RAMAISIR Qs, dan daripadanya turun kepada Penghulu sekalian Aulia Allah, yaitu:


13. SYEKH BABA SAMASI Qs, dan daripadanya turun kepada Raja yang besar lagi saidi, ialah Kepala sekalian Guru-guru, yaitu:


14. SYEKH SAID AMIN KILALI Qs, dan daripadanya turun kepada Aulia yang masyhur keramatnya dan makmur, ialah imam Thariqat Naqsabandiyah, Namanya:


15. SYEKH MUHAMMAD BAHAUDDIN BUKHARI Qs, dan daripadanya turun kepada Penghulu sekalian Kutub Syekh Muhammad Bukhari, Namanya yang masyhur:


16. SYEKH ALAUDDIN ATHARI Qs, dan daripadanya turun kepada:


17. SYEKH ABDUL ALAHRAR RASMIPANDY Qs, dan daripadanya turun kepada Raja yang salih, ialah kepala sekalian Guru-guru, yaitu:


18. SYEKH MUHAMMAD SYUHDI Qs, dan daripadanya turun kepada anak saudaranya yang besar dan martabat yang tinggi, yaitu:


19. SYEKH MUHAMMAD DURSI Qs, dan daripadanya turun kepada anak Raja yang alim lagi lemah lembut perkataannya, yaitu:


20. SYEKH MAULANA KHUJUKKI Qs, dan daripadanya turun kepada Aulia yang kutub:


21. SYEKH MUHAMMAD BAQI Qs, dan daripadanya turun anak cucu Saidina Umar Ra, yang masyhur namanya karena keramatnya, yaitu:


22. SYEKH AKHMAD FARKI ASIR HINDI Qs, yang dimasyhurkan namanya imam Rabbany Muhammadil Hasani dan daripadanya turun kepada anaknya yang tempat kepercayaannya yang menaruh rahasia, yaitu:


23. SYEKH MUHAMMAD MAKSUM Qs, dan daripadanya turun kepada anaknya Sultan Aulia:


24. SYEKH SYAIFUDDIN Qs, dan daripadanya turun kepada sinar yang gilang gemilang cahayanya, yaitu nyata zat dan sifat, yaitu:


25. SAIDI SYEKH MUHAMMAD NUR BILAWANI Qs, dan daripadanya turun kepada Wali yang tinggi pangkat dan keramatnya, yaitu:


26. SYEKH SYAMSIR ABDAIN HABIBULLAH JANJANAN AL MATHAR Qs, dan daripadanya turun kepada kepala sekalian Guru-guru dan kepala daripada sekalian Khalifah dan penghulu sekalian Aulia, yaitu:


27. SYEKH ABDULLAH DAHLAWI HINDI Qs, dan daripadanya turun kepada anak cucu Saidina Usman Ibnu Affan Ra, ialah Syekh yang masyhur Ahli Thariqat Naqsabandiyah, kepada Gurunya itu maka fanafillah dan baqabillah, kemudian pada suluk lalu menjadi Penghulu khalifah, yaitu:


28. SYEKH MAULAN DIAALHAQ WADDIN KURDI BAGDADI Qs, dan daripadanya turun kepada Arif-billah yang benci akan Dunia dan sangat kasih akan zat Allah Ta’ala, ialah kepala sekalian Guru-guru dalam negeri Mekkah, yang masyhur namanya:


29. SYEKH ABDULLAH Qs, dan daripadanya turun kepada Penghulu sekalian Khalifah, yaitu mempunyai keramat yang nyata:


30. SYEKH SULAIMAN QARIMI Qs, dan daripadanya turun kepada menantunya yang alim lagi shalih senantiasa tafakkur dan muraqabah, baqabillah siang dan malam kepada Tuhan Khaliqul Alam dan nyata dapat kesempurnaan dan kemuliaan, ialah Penghulu sekalian Khalifah dan Ikutan sekalian orang-orang suluk, yaitu mursyid:


31. SYEKH SULAIMAN ZUHDI Qs, dan daripadanya turun kepada tempat yang sempurna suci kepada kemuliaan Allah Ta’ala dan menambah ia baginya, yaitu:


32. SYEKH MAULANA IBRAHIM Qs, dan daripadanya turun kepada muridnya yang alim lagi shalih, senantiasa tafakkur dan muraqabah siang dan malam dan ikutan sekalian orang yang suluk, yaitu:


33. SYEKH MAULANA ABDUL JALIL Qs, dan daripadanya turun kepada muridnya yang menambah ia, Allah Ta’ala akan derajatnya dan kuat melalui jalan kepada Allah Ta’ala, maka melebihkan Allah Ta’ala baginya karunianya, menambah ia selama berkhidmat akan Allah Ta’ala, barang siapa menuntut jalan kepada Allah Ta’ala kepadanya, pada kemudian menegakkan Allah Ta’ala atas orang yang hidup akan menambah yaqin zikir yang bathin dan syah, yang dikenal bagi yang kaya dan mencerdikkan bagi Allah Ta’ala baginya, dan mengambilkan Allah Ta’ala baginya orang yang suluk dengan Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, Ummat Allah Ta’ala dan menyembunyikan akan dia Wali yang pilihan, yaitu Mursyid:


34. SYEKH HAJI HARUN Qs, dan daripadanya turun kepada Muridnya yang pilihan yang sangat kasih akan Gurunya, akan Allah Ta’ala dan kuat menjalankan hakikat, dan kuat mengerjakan jalan berkhidmad (adab) dan menjadi ikutan orang yang suluk yang berthariqat, Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, yaitu Mursyid:


35. SYEKH AMIR DAMSAR SYARIF ALAM, dan daripadanya turun kepada anak Jasmani dan Ruhaninya, yang mengikut akan ayahandanya dan yang sangat kasih akan Ayahandanya, dan menjadi ikutan orang-orang yang suluk yang ber-Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, yaitu Mursyid:


36. SYEKH GHAZALI AN NAQSABANDY, atas ijin Allah yang maha suci Subhanallah.


SILSILAH THORIQOH QODIRIYYAH WA NAQSHABANDIYYAH


Secara bersinambung

41. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi

Bertalqin dan berbai’at dari :


40. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Muhammad ‘Utsman bin Nadiy Al Ishaqi

Bertalqin dan berbai’at dari :


39. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abi Ishamuddiyn Muhammad Romliy At Tamimimiy

Bertalqin dan berbai’at dari :


38. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Kholil Rejoso

Bertalqin dan berbai’at dari :


37. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh HasbullaaHh Madura

Bertalqin dan berbai’at dari :


36. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ahmad Khothib As Sambasiy

Bertalqin dan berbai’at dari :


35. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn

Bertalqin dan berbai’at dari :


34. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Murod

Bertalqin dan berbai’at dari :


33. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Fattaah

Bertalqin dan berbai’at dari :


32. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Kamaluddiyn

Bertalqin dan berbai’at dari :


31. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Utsman

Bertalqin dan berbai’at dari :


30. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdur Rohiym

Bertalqin dan berbai’at dari :


29. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Bakar

Bertalqin dan berbai’at dari :


28. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Yahya

Bertalqin dan berbai’at dari :


27. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Chisamuddiyn

Bertalqin dan berbai’at dari :


26. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Waliyuddiyn

Bertalqin dan berbai’at dari :


25. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Nuruddiyn

Bertalqin dan berbai’at dari :


24. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Zainuddiyn

Bertalqin dan berbai’at dari :


23. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syarofuddiyn

Bertalqin dan berbai’at dari :


22. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn

Bertalqin dan berbai’at dari :


21. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Muhammad Al Hataki

Bertalqin dan berbai’at dari :


20. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul ‘Aziyz

Bertalqin dan berbai’at dari :


19. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Qodir Al Jiylani

Bertalqin dan berbai’at dari :


18. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Sa’id Al Mubarrok

Bertalqin dan berbai’at dari :


17. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Hasan Ali Al Hakariy

Bertalqin dan berbai’at dari :


16. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abul Faraj Al Thurthusiy

Bertalqin dan berbai’at dari :


15. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Wahid Al Tamimi

Bertalqin dan berbai’at dari :


14. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abu Bakar As Shibliy

Bertalqin dan berbai’at dari :


13. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdul Qosim Junaiyd Al Baqhdadiy

Bertalqin dan berbai’at dari :


12. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Sari As Siqthi

Bertalqin dan berbai’at dari :


11. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Al Ma’ruf Al Karkhi

Bertalqin dan berbai’at dari :


10. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abul Hasan Ali Ridlo

Bertalqin dan berbai’at dari :


9. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Musa Kadziym

Bertalqin dan berbai’at dari :


8. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ja’far As Shodiyq

Bertalqin dan berbai’at dari :


7. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Imam Muhmmad Baqir

Bertalqin dan berbai’at dari :


6. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Zainul Abiddiyn

Bertalqin dan berbai’at dari :


5. Al Arif BillaaHh Sayyidina Husain RodliyallaaHhu ‘anHhu

Bertalqin dan berbai’at dari :


4. Al Arif BillaaHh Sayyidina Ali KarromallaaHhu WajHhaHh

Bertalqin dan berbai’at dari :


3. Sayyidil Mursaliyn wa Habiybi Robbil ‘aalamiyn, Rosul utusan AllaaHh kepada sekalian kepada Makhluk, yakni Sayyidina Muhammad saw Rosuulullaah

Bertalqin dan berbai’at dari :


2. Sayyidina Jibril AlaiHhis-salam

Bertalqin dan berbai’at dari :


1. ALLAH


dikutib sesuai aslinya dari Kitab Al Khulashotul wa fiy-yaHh, fil Aadabi wa Kaifiy-yatidz-dzikri indas-saadatil QodiyiyyaHh Wan naqsyabandiyyaHh Al UtsmaniyyaHh


Sanad Suluk Syaththariyyah

SILSILAH THARIQAH WASITHAH SYATHTHARIYYAH

Rantai Silsilah Washitah Syaththariyah

Bermula daripada mata air hikmah kalamuddin daripada Junjungan kita Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam (609–632 M) kepada:

Periode I
1. Imam Ali bin Abu Thalib As (632 – 661 M)

Periode II
2. Imam Hasan Asy Syahid As (661 – 670 M)

Periode III
3. Imam Husain As (670 – 684 M)

Periode IV
4. Imam Zainal Abidib As (684 – 718 M)

Periode V
5. Imam Muhammad Al Baqir As (718 – 771 M)

Periode VI
6. Imam Ja’far Shodiq As (737 – 771)

7. Imam Musa Al Kadzim As (771 – 806 M)

8. Imam Ali bin Imam Musa Al Kadzim (806 – 826 M)

9. Imam Muhammad Al Jawad As (826 – 843 M)

10. Imam Ali bin Muhammad Al Hadi (843 – 877 M)

11. Imam Abu Yazid Al bustomi (mendapat ijin dari Imam Ali bin Muhamamad memberi petunjuk ilmu pintunya mati)

12. Imam Hasan Al Askari As (877 – 883 M)

13. Imam Al Mahdi Al Muntadzar As. (883 – 955 M), demi ke-selamatan dari ancaman pembunuhan oleh penguasa maka atas kehendak dan petunjuk Allah SWT disembunyikan pada tempat yang aman hingga selamat 69 tahun tugas beliau dijalankan oleh empat orang wakil berturut-turut (883 – 952 M) yaitu : Usman bin Saad Al Umari Al Asadi, Muhammad bin Usman, Al Husain bin Ruh Al Naubati dan Ali bin Muhammad Al Samir

Periode VII
14. Syekh Muhammad Al Maghribi As (955 – 1007 M)

15. Syekh Arabi Al Asyiqi As (1007 – 1074 M)

16. Syekh Qutb Maulana Rumi Ath Thusi As (1074 – 1132 M)

17. Syekh Qutb Abu Hasan Al Hirqon As (1132 – 1176 M).

18. Syekh Hud Qaliyyu Mawaran Nahar As (1176 – 1249)

19. Syekh Muhammad Asyiq As (1249 – 1312)

20. Syekh Muhammad Arif As (1312 – 1376)

Periode VIII
21. Syekh Abdullah Asy Syaththar As (1376 – 1429)

22. Syekh Hidayatullah Saramat As (1429 – 1464)

23. Syekh Al Hajji Al Hudhuri As (1464 – 1520)

24. Syekh Muhammad Al Ghauts Hataruddin As (1520 – 1562)

25. Syekh Wajhuddin As (1562 – 1580)

26. Syekh Saifullah bin Syekh Ruhullah As ( 1580 – 1601)

27. Syekh Ibnu Mawahib Abudllah Ahmad bin Ali Isa (1601 – 1620)

28. Syekh Muhammad Ibnu Muhammad As (1620 – 1652)

Periode IX
29. Syekh Abudrrauf As, Aceh ( 1652 – 1690)

30. Syekh Abdul Muhyi As. Pamijahan (1690 – 1718)

31. Syekh Mas Bagus Muhyidin As, Pamijahan ( 1718 – 1726)

32. Syekh Mas Bagus Nida As. Pamijahan ( 1726 – 1735)

33. Kiyai Mas Muhammad Sulaiman As (Pangeran Atas Angin I), Bagelen Jateng ( 1735 – 1749). Sebelum beliau istiqomah domisilinya, oleh Gurunya dan atas kehendak dan petunjuk Allah Swt, tugas untuk memberikan petunjuk Ilmu pintunya mati dititipkan kepada Kiayai Mustahal Surakarta.

Periode X
34. Mas Bagus Nuriman As (Pangeran Atas Angin II), Bagelen Jawa Tengah (1749 – 1769).

35. Kiyai Kun Nawi As. (Pangeran Atas Angin III), Bagelen Jateng ( 1769 – 1780).

36. Kiyai Ageng Margono As (Raden Margono, Kiayi Mas Bagus Muhyi Al Jawi), Kincang Maospati (1780 – 1799), yang sebelum domisilinya istiqomah, oleh Gurunya dan atas kehendak dan petunjuk Allah Swt, tugas untuk memberikan petunjuk Ilmu pintunya mati dititipkan kepada Kiayi Mas Bagus Amaddi, Tulungagung.

37. Kiayi Ageng Rendeng As (Kiayi Mas Bagus Ahmad Kusen), Maospati (1799 – 1811)

38. Kiyai Ageng Sepet Aking As ( Kiyai Mas Bagus Ahmad Kasan), Maospati (1811 – 1820).

39. Kiayi Ageng ‘Aliman As, Pacitan (1820 – 1827)

40. Kiayi Ageng Ahmadiya As. Pacitan (1827 – 1836)

41. Kiayi hajji Abdurrahman As., Tegalerejo Magetan (1836 – 1854).

Periode XI
42. Nyai Ageng Harjobesari As, Tegalrejo Magetan (1854 – 1876), yang sebelum domisilinya istiqomah, oleh Gurunya dan atas kehendak dan petunjuk Allah Swt, tugas untuk memberikan petunjuk Ilmu pintunya mati dititipkan kepada Kiayi Ageng Wignyowinata Caruban Madiun dan karena beliau ini perempuan maka mempunyai delapan orang wakil yang semuanya laki-laki termasuk suaminya.

43. Kiayi Hasan Ulama As, Takeran Magetan (1876 – 1916).

44. Kiayi Haji Imam Muttaqin As, Takerang Magetan (1916 – 1936), atas pentunjuk Allah Swt dan izin Gurunya diserahkan sementara/dititipkan kepada Kiayi Abdul Syukur; Takeran, kemudian dikembalikan kepada,

45. Kiayi Imam Mursyid MuttaqinAs, Tekeran Magetan ( 1936 – 1948).

46. Kiyai Muhammad Kusnun Malibari As, Tanjung Anom Nganjuk (1948 – 1979).

Periode XII
47. Kiayi Haji Mohammad Munawwar Affandi, Tanjung Anom Nganjuk ( 1979 – sekarang)

48. Tengah dipersiapkan sebagai calon penerus.

Rabu, 01 April 2009

Mudzkarah Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili

Pengembaraan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a.

Suatu ketika saat berkelana beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?”

Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja”

Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?”

Kemudian terdengar suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”.ِِ

Syadziliyah adalah nama suatu desa di benua Afrika yang merupakan nisbat nama Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. Beliau pernah bermukim di Iskandar sekitar tahun 656 H. Beliau wafat dalam perjalanan haji dan dimakamkan di padang Idzaab Mesir. Sebuah padang pasir yang tadinya airnya asin menjadi tawar sebab keramat Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. Beliau belajar ilmu thariqah dan hakikat setelah matang dalam ilmu fiqihnya. Bahkan beliau tak pernah terkalahkan setiap berdebat dengan ulama-ulama ahli fiqih pada masa itu.

Dalam mempelajari ilmu hakikat, beliau berguru kepada wali quthub yang agung dan masyhur yaitu Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, dan akhirnya beliau yang meneruskan quthbiyahnya dan menjadi Imam Al-Auliya’.

Peninggalan ampuh sampai sekarang yang sering diamalkan oleh umat Islam adalah Hizb Nashr dan Hizb Bahr, di samping Thariqah Syadziliyah yang banyak sekali pengikutnya. Hizb Bahr merupakan Hizb yang diterima langsung dari Rasulullah saw. yang dibacakan langsung satu persatu hurufnya oleh beliau saw.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. pernah ber-riadhah selama 80 hari tidak makan, dengan disertai dzikir dan membaca shalawat yang tidak pernah berhenti. Pada saat itu beliau merasa tujuannya untuk wushul (sampai) kepada Allah swt. telah tercapai. Kemudian datanglah seorang perempuan yang keluar dari gua dengan wajah yang sangat menawan dan bercahaya.

Dia menghampiri beliau dan berkata, ”Sunguh sangat sial, lapar selama 80 hari saja sudah merasa berhasil, sedangkan aku sudah enam bulan lamanya belum pernah merasakan makanan sedikitpun”.

Suatu ketika saat berkelana, beliau berkata dalam hati, “Ya Allah, kapankah aku bisa menjadi hamba-Mu yang bersyukur?”.

Kemudian terdengarlah suara, “Kalau kamu sudah mengerti dan merasa bahwa yang diberi nikmat hanya kamu saja”.

Beliau berkata lagi, “Bagaimana saya bisa begitu, padahal Engkau sudah memberi nikmat kepada para Nabi, Ulama dan Raja?”.

Kemudian terdengarlah suara lagi, “Jika tidak ada Nabi, kamu tidak akan mendapat petunjuk, jika tidak ada Ulama kamu tidak akan bisa ikut bagaimana caranya beribadah, jika tidak ada Raja kamu tidak akan merasa aman. Itu semua adalah nikmat dari-Ku yang kuberikan hanya untukmu”.

Beliau pernah khalwat (menyendiri) dalam sebuah gua agar bisa wushul (sampai) kepada Allah swt. Lalu beliau berkata dalam hatinya, bahwa besok hatinya akan terbuka. Kemudian seorang waliyullah mendatangi beliau dan berkata, “Bagaimana mungkin orang yang berkata besok hatinya akan terbuka bisa menjadi wali. Aduh hai badan, kenapa kamu beribadah bukan karena Allah (hanya ingin menuruti nafsu menjadi wali)”.

Setelah itu beliau sadar dan faham dari mana datangnya orang tadi. Segera saja beliau bertaubat dan minta ampun kepada Allah swt. Tidak lama kemudian hati Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. sudah di buka oleh Allah swt. Demikian di antara bidayah (permulaaan) Syekh Abul Hasan As-Syadzili. Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya?

Sabdanya, “Guruku adalah Syekh Abdus Salam Ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Ustman bin ‘Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh yang agung".

Beliau pernah berkata, “Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya muridku, semua sampai hari kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang, semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak terkendalikan oleh syariat, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang akan terjadi besok sampai hari kiamat”.

Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, “Aku setiap malam banyak membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syekh Abil Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada Allah swt apa yang menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku”.

Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan aku bertanya, “Ya Rasulallah, kalau seusai shalat lalu berwasilah membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syekh Abil Hasan dan aku meminta apa saja kepada Allah swty. apa yang menjadi kebutuhanku lalu dikabulkan, seperti hal tersebut apakah diperbolehkan atau tidak?”.

Lalu Nabi saw. Menjawab, “Abul Hasan itu anakku lahir batin, anak itu bagian yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawashul kepada Abul Hasan, maka berarti dia sama saja bertawashul kepadaku”.

Pada suatu hari dalam sebuah pengajian Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. menerangkan tentang zuhud, dan di dalam majelis terdapat seorang faqir yang berpakaian seadanya, sedang waktu itu Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili berpakaian serba bagus. Lalu dalam hati orang faqir tadi berkata, “Bagaimana mungkin Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili r.a. berbicara tentang zuhud sedang beliau sendiri pakaiannya bagus-bagus. Yang bisa dikatakan lebih zuhud adalah aku karena pakaianku jelek-jelek”.

Kemudian Syekh Abul Hasan menoleh kepada orang itu dan berkata, “Pakaianmu yang seperti itu adalah pakaian yang mengundang senang dunia karena dengan pakaian itu kamu merasa dipandang orang sebagai orang zuhud. Kalau pakaianku ini mengundang orang menamakanku orang kaya dan orang tidak menganggap aku sebagai orang zuhud, karena zuhud itu adalah makam dan kedudukan yang tinggi”.

Orang fakir tadi lalu berdiri dan berkata, “Demi Allah, memang hatiku berkata aku adalah orang yang zuhud. Aku sekarang minta ampun kepada Allah dan bertaubat”.

Di antara Ungkapan Mutiara Syekh Abul Hasan Asy-Syadili:

1. Tidak ada dosa yang lebih besar dari dua perkara ini :
pertama, senang dunia dan memilih dunia mengalahkan akherat.
Kedua, ridha menetapi kebodohan tidak mau meningkatkan ilmunya.

2. Sebab-sebab sempit dan susah fikiran itu ada tiga :
pertama, karena berbuat dosa dan untuk mengatasinya dengan bertaubat dan
beristiqhfar.
Kedua, karena kehilangan dunia, maka kembalikanlah kepada Allah swt. sadarlah
bahwa itu bukan kepunyaanmu dan hanya titipan dan akan ditarik kembali oleh Allah
swt.
Ketiga, disakiti orang lain, kalau karena dianiaya oleh orang lain maka
bersabarlah dan sadarlah bahwa semua itu yang membikin Allah swt. untuk
mengujimu.Kalau Allah swt. belum memberi tahu apa sebabnya sempit atau susah,
maka tenanglah mengikuti jalannya taqdir ilahi. Memang masih berada di bawah awan
yang sedang melintas berjalan (awan itu berguna dan lama-lama akan hilang dengan
sendirinya).

Ada satu perkara yang barang siapa bisa menjalankan akan bisa menjadi pemimpin yaitu berpaling dari dunia dan bertahan diri dari perbuatan dhalimnya ahli dunia. Setiap keramat (kemuliaan) yang tidak bersamaan dengan ridha Allah swt. dan tidak bersamaan dengan senang kepada Allah dan senangnya Allah, maka orang tersebut terbujuk syetan dan menjadi orang yang rusak.

Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.

Di antara keramatnya para Shidiqin ialah :
1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu).
2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).
3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas
air dan sebagainya.

Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :
1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.
2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.
3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.
4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.

Kamu jangan menunda ta’at di satu waktu, pada waktu yang lain, agar kamu tidak tersiksa dengan habisnya waktu untuk berta’at (tidak bisa menjalankan) sebagai balasan yang kamu sia-siakan. Karena setiap waktu itu ada jatah ta’at pengabdian tersendiri.

Kamu jangan menyebarkan ilmu yang bertujuan agar manusia membetulkanmu dan menganggap baik kepadamu, akan tetapi sebarkanlah ilmu dengan tujuan agar Allah swt. membenarkanmu.

Radiya allahu ‘anhu wa ‘aada ‘alaina min barakatihi
wa anwarihi wa asrorihi
wa ‘uluumihi wa ahlakihi,
Allahumma Amiin.

Makhtabul Halaqah